an-nahl: 125

Jumat, 16 Juni 2017

          Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Salah satu sumber mengatakan bahwa Asia Tenggara atau Indo Melayu merupakan tujuh dari wilayah kebudayaan atau peradaban Islam. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila umat Islam menjadi penduduk mayoritas di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Banyaknya penduduk muslim di Indonesia tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan melewati proses yang sangat panjang. Berbagai sumber dan teori telah memaparkan bagaimana Islam dapat masuk dan tersebar ke seluruh penjuru nusantara. Banyaknya sumber dan teori tersebut yang kemungkinan juga menjadi salah satu alasan rumitnya penjelasan masa awal sejarah Islam di Asia Tenggara. Sebab, terdapat perbedaan–perbedaan mendasar di kalangan ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang tekadang sulit untuk dipertemukan satu sama lain. Hingga sekarang, sejarah masuknya Islam di Asia Tenggara merupakan polemik panjang yang menimbulkan pro kontra antara sejarawan, agamawan, arkeolog, dan intelektual.[1]
        Salah satu sumber memaparkan sekaligus membagi menjadi beberapa babak penting proses masuknya Islam di nusantara. Disebutkan disana bahwa babak pertama masuknya Islam di Indonesia adalah abad ke-7 M/ 1 H.[2] Itu artinya, lebih dari sekian ratus tahun semenjak Islam datang hingga sekarang ini (2017). Perlu untuk diketahui bahwa untuk pembahasan ini akan penulis kerucutkan proses penyebaran dan perkembangan gerakan dakwah Islam di nusantara selama kurun waktu kurang lebih satu abad lamanya (mulai abad ke-20 M) tanpa meniadakan bagaimana proses masuknya Islam sebelum itu. Proses penyebaran Islam selama kurang lebih satu abad hingga sekarang ini akan menjadi titik fokus pembahasan, sedangkan periode sebelumnya akan dibahas secara singkat.

Awal Masuknya Islam di Indonesia
          Disebutkan, Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 Masehi. Para Da’i yang datang ke Indonesia berasal dari Jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada pula yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina. Mereka datang dari berbagai arah, salah satunya yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan). Dari situlah, dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.[3]
        Sumber lain menyatakan (berdasar data manuskrip atau literatur kuno Cina), bahwa menjelang perempat pertama abad ke-7 M, sudah berdiri perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatera. Disana orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas muslim. Saat itu, juga sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia Barat. Penjelasan ini disebut pula sebagai teori Arabia. Pendukung teori ini yakni Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold.[4]

Gerakan Dakwah Islam di Indonesia
          Setelah abad ke-7 M, Islam mulai menguasai institusi politik. Pada masa ini, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang didirikan, salah satunya yakni Kerajaan Peureulak atau yang biasa disebut Kerajaan Perlak di Aceh Timur. Didirikan pada tahun 840 M, Perlak menjadi kerajaan Islam tertua di Indonesia. Kemudian diikuti oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti Kerajaan Samudera Pasai (1042 M), Kerajaan Ternate dan Tidore (1440 M), Kerajaan Demak (1478 M), Kerajaan Cirebon (1500 M), Kerajaan Banten (1524 M), Kerajaan Mataram (1583 M), Kerajaan Aceh, Kerajaan Gowa dan Tallo (1593 M), serta masih banyak lainnya.[5]
        Disamping itu, tahun 1404 M, para ulama utusan Sultan Muhammad I (Utsmani) datang ke pulau Jawa. Umumnya, mereka singgah melalui Pasai. Para ulama tersebut antara lain:
1.   Maulana Malik Ibrahim (w. 1419), ahli tata negara dari Turki
2.   Maulana Ishaq dari Samarqand, atau Syeikh Awwalul Islam
3.   Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir
4.   Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko
5.   Maulana Malik Israil (w. 1435), dari Turki
6.   Maulana Muhammad Ali Akbar (w. 1435)
7.   Maulana Hasanuddin dari Palestina
8.   Maulana Aliyuddin dari Palestina
9.   Syeikh Subakir dari Persia[6]
        Mereka adalah para ulama angkatan pertama dari delapan angkatan/ perintis Wali Sanga. Sedangkan anggota Wali Sanga yang paling terkenal antara lain:
1.   Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2.   Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3.   Sunan Bonang atau Raen Makdum Ibrahim
4.   Sunan Drajat atau Raden Qasim
5.   Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6.   Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7.   Sunan Kalijaga atau Raden Said
8.   Sunan Muria atau Raden Umar Said
9.   Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah[7]
        Para ulama utusan tersebut mengembangkan dakwah melalui berbagai saluran antara lain perdagangan, pernikahan, pendidikan, seni budaya, dan tasawuf.
        Kemudian pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601, datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
        Kesempurnaan Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mereka mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, para santri menjadi pasukan Allah yang siap melawan penjajah sedangkan para ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.[8]

Gerakan Dakwah Islam di Indonesia Selama 1 Abad (Abad 20 M – Sekarang)
          Awal abad 20 Masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari al-Qur’an dan Hadis, serta akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga untuk mempersiapkan lapisan birokrasi yang tidak mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda. Waktu itu, tidak seluruh masyarakat bisa mendapat pendidikan, melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan). Oleh karena itu mayoritas pemimpin-pemimpin pergerakan adalah mereka yang dari golongan bangsawan. Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada membentuk organisasi formal daripada dengan senjata.[9]
          Menurut penulis, dari masa dahulu hingga sekarang, organisasi-organisasi Islam masih memegang eksistensinya sebagai wadah pergerakan dakwah Islam meskipun bentuknya sudah tidak untuk melawan penjajah seperti dahulu. Organisasi Islam dibentuk untuk mewadahi pergerakan dakwah Islam yang lebih strategis dan terstruktur. Banyak organisasi-organisasi Islam yang didirikan di Indonesia mulai dari Abad 20 hingga sekarang dan mengalami pasang surutnya masing-masing, antara lain:
1.   Jamiatul Khair
     Organisasi ini adalah organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta yang didirikan tahun 1901, yakni dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad al-Fakir bin Abd. Al-Rahman al-Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, dan lainnya. Jamiatul Khair dikenal telah melahirkan banyak tokoh Islam, yang terdiri atas tokoh-tokoh gerakan pembaharuan Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, H. Samanhudi, dan H. Agus Salim, dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan.
    Semula, Jamiatul Khair memusatkan usahanya di bidang pendidikan. Namun, seiring waktu, organisasi ini memperluasnya dengan dakwah, penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto (Maret 1913), serta mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam dan sekolah untuk putra.
    Awal mulanya, organisasi ini belum mendapat izin dari pemerintah Belanda. Namun, tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi, dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan asal tidak membuka cabang di luar Batavia. [10]

2.   Syarikat Islam (SI)
     Organisasi SI merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada 16 Oktober 1905 oleh H. Samanhudi.
    Awalnya, SI dibentuk sebagai perkumpulan pedagang Islam yang menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi rakyat pada masa itu. Kemudian, tahun 1912, berkat kondisi politik dan sosial pada masa tersebut, HOS Tjokroaminoto menggagas organisasi yang awalnya bernama Sarekat Dagang Islam untuk mengubah nama dan bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang hingga kini disebut Syarikat Islam.
    Tokoh-tokoh SI lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis. Mereka berdua membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, hingga berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.[11]

3.   Muhammadiyah dan Aisyiyah
    Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Berdirinya organisasi ini lantaran masyarakat Islam yang berpandangan maju menginginkan terbentuknya sebuah organisasi yang menampung aspirasi mereka dan menjadi sarana bagi kemajuan umat Islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan maju berkat pendidikan dan pergaulan dengan kalangan Islam di dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokohnya yakni KH. Ahmad Dahlan yang akhirnya mendirikan organisasi ini. Tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah atas dasar agama, bertujuan untuk melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan buruk yang tidak berdasar al-Qur’an dan Hadis.[12]
    Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama Nabi terakhir, kemudian mendapatkan ‘ya nisbiyah’ yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti ummatnya atau pengikutnya Muhammad. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah berjumlah ribuan). Tidak hanya di ranah pendidikan, Muhammadiyah juga berdakwah di ranah politik. Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid.
    Berdirinya Muhammadiyah telah mengilhami berdirinya hampir seluruh organisasi otonom yang ada di Muhammadiyah, termasuk Aisyiyah. Sebelum Aisyiyah secara kongkret terbentuk, sifat gerakan pembinaan wanita itu baru secara berkelompok belum merupakan organisasi.
    Dari segi perkembangannya, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat. Berbagai metode dakwah Muhammadiyah mencakup beberapa hal dalam penyebaran dakwah yaitu melalui dakwah secara kultural dan dakwah secara modern baik itu perkembangan teknologi maupun pola pikir masyarakat modern.

4.   Al-Irsyad
     Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini adalah Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.”
    Perjuangan dan cita-cita Al-Irsyad serta keyakinannya dapat dilihat dalam apa yg disebut “Pedoman Asasi Al-Irsyad” yaitu Hakekat Al-Irsyad Organisasi ini menamakan dirinya sebagai perhimpunan yang bertujuan memurnikan pemahaman tauhid ‘ibadah dan ‘amaliyah Islam dan bergerak dalam bidang pendidikan pengajaran kebudayaan dan dakwah Islam serta kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah guna mewujudkan pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju keridhoan Allah SWT.
    Perkembangan oganisasi Al-Irsyad kurang begitu pesat jika dibandingkan dengan organisasi yang lahir jauh sesudahnya seperti Muhammadiyah dan NU. Hal ini bisa dilihat karena kebanyakan para pengurus dan pendukung organisasi ini adalah dari kalangan keturunan Timur Tengah. Adanya jarak antara masyarakat keturunan Arab dengan pribumi menyebabkan sosialisasi organisasi ini kurang menyentuh atau melebar ke masyarakat pribumi. Dilihat dari pergerakan keorganisasiannya Al-Irsyad lebih cenderung penekanannya dalam bidang sosial pendidikan.

5.   Persatuan Islam (PERSIS)
     Organisasi PERSIS berdiri pada 12 September 1923 di Bandung. Ide ini bermula dari seorang alumnus Dar al’Ulum Makkah bernama H. Zamzam, yang pada tahun 1910-1912 menjad guru agama di sekolah agama Dar al-Muta’alimin. Organisasi ini menghendaki sesuatu yang seharusnya disakralkan dan sesuatu yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Sebab, penilaian terhadap sesuatu yang sakral tersebut berhubungan dengan kualitas ketauhidan dan wawasan keislaman yang dimiliki. Misalnya, jika setiap kali bahasa Arab identik dengan Islam, maka wawasan keislaman yang dimiliki oleh seseorang dapat dikatakan tergolong awam.[13]
    Meskipun peranannya dalam pendidikan agama memiliki pengaruh tertentu bagi kaum muslim Indonesia, Persatuan Islam tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan beberapa organisasi lainnya. Dalam menggambarkan Islam, para aktivis Persatuan Islam menghindari pelbagai konsep dan generalisasi yang samar yang lazim di Indonesia dan menyibukkan diri dengan rincian dan substansi perilaku keagamaan. Para anggotanya mengemukakan pandangan-pandangan yang sangat jelas tentang budaya tradisional Indonesia, tentang institusi-institusi yang diilhami dari budaya “Barat”, dan tentang pemikiran dan praktik keagamaan muslim tradisional. Persatuan Islam pada umumnya mirip dengan gerakan-gerakan muslim puritan “santri” Indonesia lainnya (fundamentalis). Pada tahun 1926, perbedaan-perbedaan antara dua tren dalam kelompok kajian itu mencapai puncaknya hingga terjadilah perpecahan. Kelompok yang memisahkan diri, yang terdiri dari orang-orang tradisionalis, mendirikan sebuah organisasi tandingan yang dikelan dengan Permufakatan Islam, sementara sisa anggota lainnya tetap mempertahankan nama Persis dan mendeklarasikan diri sebagai gerakan Islam Modernis.
   
6.   Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslimat
     Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.[14] Latar belakang pendirian organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial-politik dan keagamaan yang terjadi pada saat itu. NU adalah organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan politik.[15]
    Merujuk pada laman resmi organisasi NU, www.nu.or.id, paham keagamaan NU adalah Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis).[16]
    Pada awal berdirinya, NU hanya untuk kaum laki-laki, tetapi seiring dengan tumbuhnya pergerakan Indonesia, yang juga melibatkan kaum perempuan, para muslimah di lingkungan NU juga berkeinginan aktif berorganisasi untuk memperjuangkan berbagai persoalan yang menghinggapi perempuan. Hingga akhirnya lahirlah organisasi Muslimat NU pada 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465 yang diketuai oleh Nyai Chodijah. Dalam salah satu pertauran dasarnya, disebutkan badan ini bertujuan untuk menyadarkan para wanita Islam Indonesia akan kewajibannya, supaya menjadi ibu yang sejati, sehingga mereka dapat turut memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan agama Islam.

7.   Partai Keadilan Sejahtera
    Partai Keadilan Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan PKS merupakan salah satu partai politik di Indonesia. Partai politik ini pertama kali dibentuk pada tanggal 20 April 2002 yang bermula dari sebuah gerakan dakwah yang ada di kampus.
    Dalam mewujudkan sebuah partai dakwah, PKS selalu berusaha untuk melakukan dakwah kepada masyarakat dan kader-kadernya, menanamkan bahwa hanya dakwah yang bisa menjunjung nama partai. Mereka melakukan kegiatan dakwah secara struktural dan kultural.
    Untuk dakwah struktural, PKS terjun dengan benderanya untuk menyebarkan dakwah. Seperti membangun lembaga-lembaga sosial, instansi pemerintah, aksi sosial, demonstrasi dan adanya partai keadilan itu sendiri. PKS juga bergerak dalam bidang pendidikan, dalam sekolah-sekolah, Universitas, dan instansi pendidikan lainnya telah ada perkumpulan tarbiyah yang biasanya dijadikan UKS/UKM. PKS juga sering menyelenggarakan pengajian umum atas nama partai itu sendiri.
    Sedangkan dakwah kultural, yakni dakwah kepada masyarakaat pedesaan atau awam, PKS bergerak dengan lebih halus. Beberapa metode dakwah kultural mereka yakni Halaqoh/ Tarbiyah, Ruqyah, dan Seni bela diri Thifan Po Khan.

8.   Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
    Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam Jama’ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Karena Islam Jama’ah sudah terlarang di seluruh Indonesia. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pertama kali berdiri pada tahun 3 Januari 1972 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama Yayasan Lembaga Karyawan Islam (YAKARI). Pokok ajaran LDII antara lan yakni Doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis, Penerapan Praktis atas Teks Suci, dan beberapa doktrin lainnya seperti doktrin manqul, doktrin pemimpin, doktrin bai’at, doktrin amal shaleh, dan doktrin jamaah. LDII juga mengadakan kegiatan pengajian untuk anggota-anggotanya dengan beberapa pembagian.

        Sebenarnya, masih banyak organisasi-organisasi Islam lainnya. Namun, dari penjelasan beberapa organisasi Islam diatas sudah dapat kita lihat, banyak sekali organisasi-organisasi Islam yang muncul di Indonesia dari awal abad 20 hingga sekarang dengan ragam bentuknya. Pada intinya, tujuan dari semua organisasi adalah sama, menyebarkan dakwah sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Lalu mengapa harus ada banyak organisasi? Karena meskipun tujuannya sama, namun praktik dan cara melakukannya berbeda. Ada yang bersifat tradisionalis, modernis, fundamentalis, hingga radikal. Oleh karena itu, tiap organisasi memiliki karakternya masing-masing. Mereka masing-masing memiliki dasar dan pedoman sendiri dalam praktik dakwah, pemahaman, serta ajarannya. Kita sebagai umat muslim yang cerdas, tentu harus dapat memfilter mana yang sesuai dengan ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasul SAW dan mana yang tidak. Sehingga, kita tidak terseret arus yang menyebabkan kita memiliki pemahaman keagamaan yang menyeleweng dari tuntunan Rasul SAW.
        Saat ini, dakwah sudah banyak mengalami perkembangan. Tidak lagi melalui dakwah berupa wujud pengajian atau ceramah-ceramah, gerakan dakwah sudah lebih inovatif dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yakni melalui media-media sosial.
        Sangat penting untuk mempelajari sejarah dakwah Islam, salah satunya agar kita sebagai generasi muda Islam mampu untuk melanjutkan kewajiban dakwah dengan cara yang cerdas dan damai.




[1] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: DIVA Press, 2015), hlm.465-466.
[2] https://www.google.co.id/amp/www.dakwatuna.com/2007/12/30/347/sejarah-islam-di-indonesia/amp/
[3] Ibid.,
[4] http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/sejarah-kedatangan-islam-ke-nusantara.pdf
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Rizem Aizid, Op. Cit., hlm. 524.
[8] https://www.google.co.id/amp/www.dakwatuna.com/2007/12/30/347/sejarah-islam-di-indonesia/amp/
[9] Ibid.,
[10] Rizem Aizid, Op. Cit., hlm. 501-502.
[11] Ibid., hlm. 502-503.
[12] Ibid., hlm. 504.
[13] Rizem Aizid, Op. Cit., hlm. 507.
[15] https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_%27Ulama
[16] www.nu.or.id

Rabu, 14 Juni 2017

Tiga prinsip mengintegrasikan Islam dengan sain-teknologi menurut Amin Abdullah, yakni:
a. Hadharah al-nash (teks-bayan), yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari nash (agama)
b. Hadharah al-ilm (rasio-burhani), yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) dan kemasyarakatan (social sciences)
c. Hadharah al-falsafah (filsafat-irfani), yakni kemajuan peradaban bersumber dari etika dan falsafah.
      Gagasan Amin Abdullah tersebut sangat dibutuhkan saat ini. Mengingat bahwa antara keilmuan Islam dan umum nampak sekali adanya distansi tanpa adanya integrasi dan interkoneksi. Padahal, apabila kita ingin mencapai Islam yang berkemajuan, seharusnya kedua hal tersebut harus bisa saling dikombinasikan. Fenomena dan permasalahan-permasalahan yang terjadi sekarang ini, tidak akan bisa dihadapi apabila hanya menggunakan satu sudut pandang pemikiran saja, entah itu dari sudut pandang agama saja, atau pemikiran umum saja.
      Ketiga prinsip diatas yakni bayani, burhani,dan burhani seyogyanya harus bisa kita kaitkan agar keilmuan Islam dan sain-teknologi dapat terintegrasi sehingga mampu menjawab tantangan zaman saat ini. Hadharah al-‘ilm yang merupakan ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadharah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatorisnya. Sementara itu, hadharah al-nash yang mengacu pada teks apabila dikombinasikan dengan hadharah al-ilm yang merupakan ilmu mengenai realitas, tetapi tanpa mengenal sedikitpun etika dan falsafah (hadharah al-falsafah) maka akan menjadi berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah dimasuki dan terbawa arus ke arah gerakan radikal ataupun fundamental. Begitupun juga dengan hadharah al-falsafah atau budaya filsafat, akan tidak menarik jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks, terlebih lagi jika menjauh dari problematika yang ditimbulkan oleh hadharah al-ilm.

Selasa, 13 Juni 2017

            Pada era sekarang ini, kita sedang mengalami proses dehumanisasi (penghilangan harkat manusia). Faktor penyebabnya tidak lain yakni banyaknya masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan, pendidikan rendah, kebutuhan dasar yang tak terpenuhi, kesehatan buruk, angka kekerasan meningkat, pemerkosaan, dan masih banyak lainnya. Oleh karena itulah mengapa gerakan humanisasi perlu digencarkan untuk mengembalikan manusia pada fitrahnya, yakni sebagai makhluk yang mulia, unggul, terhormat dan bermartabat. Salah satu gerakan humanisasi adalah dalam bidang dakwah yang disebut dakwah humanis.

Pengertian Dakwah Humanis
            Dakwah humanis adalah dakwah yang berorientasi pada pembentukan jati diri manusia yang manusiawi dengan kedamaian, kebijakan, kearifan dan keadilan. Dengan kata lain, dakwah yang menghadirkan Islam sebagai agama rahmat, sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Anbiya’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
            Dakwah Islam pada dasarnya merupakan proses humanisasi, yaitu proses pemanusiaan manusia. Inti humanisasi adalah penyadaran pada optimalisasi potensi dan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia, sehingga terwujud manusia yang mulia, unggul, terhormat dan bermartabat.
            Humanisasi dakwah Islam dapat dilihat dari tujuan utama dakwah, yaitu pembebasan manusia dari “bergantung dan mengabdi pada zat selain Tuhan (syirik)” menjadi “muwahhid”, manusia yang bertauhid dan hanya beribadah kepada Allah SWT, seperti yang tercantum dalam QS al-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
            Humanitas dakwah juga tampak jelas dari materi dakwah, seperti akidah dan akhlak Islami yang mentradisikan orang berprilaku santun dan berkepribadian mulia.[1]

Konsep metode Dakwah dalam Perspektif Humanisme
            Humanisme dalam Islam ditegakkan di atas dasar kemanusiaan yang murni diajarkan al-Qur’an. Konsepsi Islam mengajarkan pada umatnya, bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan manusia dengan sia-sia. Dia menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Seperti firman Allah SWT dalam QS. At-Tiin ayat 5:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
            Islam menempatkan manusia pada proporsi sebenarnya, tidak mendewakan tidak pula merendahkan. Islam sendiri sebenarnya melindungi kemanusiaan melalui penegakan hukum syariat yang salah satu tujuan utamanya adalah menjaga hak-hak individu, mengatur dan mengangkat martabatnya dalam koridor sistem al-Qur’an. Semakin dekat seseorang kepada Tuhannya, semakin terangkat pula martabat kemanusiaannya.
            Jika kita sandingkan antara kata ‘dakwah’ dengan ‘dakwah humanis’ diantara keduanya adalah sama namun kata ‘humanis’ disandang sebagai bentuk penegasan tujuan dakwah itu sendiri. Mengapa terjadi hal demikian? Karena saat kita melihat salah satu sisi dakwah, tidak sedikit yang lupa akan esensilnya Islam yakni sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
            Dakwah Islam yang humanis menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dengan memperhatikan segi-segi psikologis, sosiologis, antropologis, kultural dan edukatif dalam berdakwah. Dan yang lebih penting lagi, dakwah itu gagasan dasarnya adalah untuk manusia, jadi bagaimana dakwah dapat diterima oleh manusia, yakni dakwah yang mencerdaskan dan mencerahkan umat, bukan membodohi dan mencibiri masyarakat. Dakwah yang mendidik dan mendewasakan masyarakat, bukan menghardik dan membinasakan. Dakwah humanis merupakan dakwah yang ditawarkan secara persuasif, bukan provokatif, sekaligus menyadarkan manusia sebagai manusia mulia. Karena dakwah adalah aktivitas dinamis, maka dakwah harus mampu memberikan jawaban terhadap setiap perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Corak dan bentuk dakwah dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan segala perubahan dan perkembangan masyarakat. Ikut sertakan humanisme dalam aktivitas dakwah tersebut, karena dakwah akan senantiasa bersentuhan bahkan bergelut dengan realitas kehidupan.
            Apabila dakwah dinamis terlaksana dengan baik, maka dakwah akan berfungsi sebagai alat dinamisator atau filter dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dakwah tidak melakukan perubahan, maka kemungkinan dakwah tidak relevan lagi dengan dunia yang berubah dengan cepat dan pesat, sehingga dapat dinyatakan bahwa dakwah harus diformat untuk bisa menghadapi tantangan zaman. Ini berarti bahwa dakwah tidak hanya digunakan untuk merehabilitasi dampak kemungkaran akibat perkembangan zaman tetapi juga bisa dijadikan sebagai faktor dalam mengendalikan perkembangan zaman.[2]
            Kita harus menilai secara sangat positif bahwa dakwah harus memberikan sumbangan untuk nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, di samping memperbaiki akhlak manusia, dakwah juga harus memperhatikan persoalan kemanusiaan. Kita harus peduli dengan sisi kemanusiaan yang dihadapi manusia-manusia yang menderita. Orang-orang beragama yang tidak memperhatikan orang-orang miskin dan orang-orang yatim, bisa dikatakan belum beragama. Jadi, seakan-akan manusia itu sudah termasuk salah satu inti tujuan agama kita.[3]